LAPORAN
PEMENUHAN KEBUTUHAN RASA NYERI
PADA Nn. AI DENGAN CIDERA KEPALA RINGAN DI
RUANG CEMPAKA
RSUD
UNGARAN
disusun oleh
CHOIRIN
MASITA
P
17424112009
PROGRAM STUDI DIII
KEBIDANAN SEMARANG
JURUSAN KEBIDANAN
POLTEKKES KEMENKES
SEMARANG
SEMARANG
2013
LAPORAN
PEMENUHAN KEBUTUHAN RASA NYERI
PADA Nn. AI DENGAN CIDERA KEPALA RINGAN DI
RUANG CEMPAKA
RSUD
UNGARAN
I. Tinjauan Teori Cidera Kepala Ringan
A.
Pengertian
Cidera Kepala Ringan
Cidera
kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurology atau menurunnya kesadaran tanpa
menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2002).
Cidera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS:
15 (sadar penuh) tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri
kepala, hematoma, laserasi dan abrasi (Mansjoer, 2000).
Cidera kepala ringan adalah cidera kepala tertutup
yang ditandai dengan hilangnya kesadaran sementara (Corwin, 2000).
Cidera kepala adalah cedera yang
meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cidera kepala paling sering
dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik dan merupakan
proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare
2001).
Cidera kepala adalah serangkaian
kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma kepala ,yang dapat
melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau kombinasinya (Standar
Pelayanan Medis ,RS Dr.Sardjito).
Jadi cidera
kepala ringan adalah cedera karena tekanan atau kejatuhan benda tumpul yang
dapat menyebabkan hilangnya fungsi neurology sementara atau menurunya kesadaran
sementara, mengeluh pusing nyeri kepala tanpa adanya kerusakan lainnya.
B.
Etiologi
Menurut Cholik Harun Rosjidi & Saiful Nurhidayat, (2009
: 49) etiologi cidera kepala adalah :
1. Kecelakaan lalu lintas.
2. Jatuh.
3. Pukulan.
4. Kejatuhan benda.
5. Kecelakaan kerja atau industri.
6. Cedera lahir.
7. Luka tembak.
C.
Klasifikasi
Cidera Kepa Ringan
Berat
ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul
setelah cidera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan
derajat cedera kepala. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi
aspek ,secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan :
1. Mekanisme cidera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala
dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau pukulan benda
tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya
penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera
tembus atau cedera tumpul.
2. Beratnya Cidera
Glascow
coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera
kepala a. Cedera Kepala Ringan (CKR).
GCS
13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30 menit
atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada
kontusio cerebral maupun hematoma
b.
Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9 –12, kehilangan
kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c.
Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama
dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intracranial.
Skala Koma Glasgow
No
|
RESPON
|
NILAI
|
1
|
Membuka Mata
:
-Spontan
-Terhadap
rangsangan suara
-Terhadap
nyeri
-Tidak
ada
|
4
3
2
1
|
2
|
Verbal :
-Orientasi
baik
-Orientasi
terganggu
-Kata-kata
tidak jelas
-Suara
tidak jelas
-Tidak
ada respon
|
5
4
3
2
1
|
3
|
Motorik :
-
Mampu bergerak
-Melokalisasi
nyeri
-Fleksi
menarik
-Fleksi
abnormal
-Ekstensi
-Tidak
ada respon
|
6
5
4
3
2
1
|
Total
|
3-15
|
3. Morfologi
Cedera
Secara
Morfologi cedera kepala dibagi atas :
a. Fraktur cranium
Fraktur
kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk garis
atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak
biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya
tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain :
1) Ekimosis periorbital ( Raccoon eye
sign)
2) Ekimosis retro aurikuler
(Battle`sign )
3) Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea)
dan
4) Parese nervus facialis ( N VII )
Sebagai patokan umum bila terdapat
fraktur tulang yang menekan ke dalam, lebih tebal dari tulang kalvaria,
biasanya memeerlukan tindakan pembedahan.
b. Lesi Intrakranial
Lesi
ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis lesi
sering terjadi bersamaan.
Termasuk
lesi lesi local ;
1) Perdarahan Epidural
2) Perdarahan Subdural
3) Kontusio (perdarahan intra cerebral)
Cedera otak difus umumnya menunjukkan
gambaran CT Scan yang normal, namun keadaan klinis neurologis penderita sangat
buruk bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan
lamanya koma, maka cedera otak difus dikelompokkan menurut kontusio ringan,
kontusio klasik, dan Cedera Aksona Difus ( CAD).
1) Perdarahan Epidural
Hematoma
epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada regon
temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media (
Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan
bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan
kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral. Kemudian gejala
neurology timbul secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil
edema dan gejala herniasi transcentorial.
2) Perdarahan subdural
Perdarahan
subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural( kira-kira 30 % dari
cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena
jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi
bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada
permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan
hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh
lebih buruk daripada perdarahan epidural.
3) Kontusio dan perdarahan
intracerebral
Kontusio
cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walau terjadi
juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum. Kontusio
cerebri dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam mengalami evolusi
membentuk perdarahan intracerebral. Apabila lesi meluas dan terjadi
penyimpangan neurologist lebih lanjut
4) Cedera Difus
Cedera
otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera
kepala.
Komosio
Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu, namun
terjadi disfungsi neurologist yang bersifat sementara dalam berbagai derajat.
Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan sering kali tidak diperhatikan,
bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung dan
disorientasi tanpa amnesia retrograd, amnesia integrad ( keadaan amnesia pada
peristiwa sebelum dan sesudah cedera). Komusio cedera klasik adalah cedera yang
mengakibatkan menurunya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai
dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya
cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan
reversible.
D.
Manifestasi
Klinis
Menurut Arief Mutaqin dalam Buku Ajar asuhan
Keperawatan Klien Dengan Gangguan sistem persarafan, menyatakan manifestasi
klinis cidera kepala ringan yaitu :
1. Nyeri yang menetap atau setempat.
2. Bengkak pada sekitar fraktur sampai
pada fraktur kubah cranial.
3. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi
dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat dibawah konjungtiva,memar
diatas mastoid (tanda battle),otorea serebro spiral ( cairan cerebros piral keluar
dari telinga ), minorea serebrospiral (les keluar dari hidung).
4. Laserasi atau kontusio otak ditandai
oleh cairan spinal berdarah.
5. Penurunan kesadaran.
6. Pusing / berkunang-kunang.
7. Absorbsi cepat les dan penurunan
volume intravaskuler
8. Peningkatan TIK
9. Dilatasi dan fiksasi pupil atau
paralysis edkstremitas
10. Peningkatan TD, penurunan frek.
Nadi, peningkatan pernafasan.
E.
Pemeriksaan
Diagnostik.
1.
CT-Scan : untuk mengidentifikasi
adanya SOL hemografi, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan.
2. Angiografiserebral
: menunjukan kelainan sirkulasi serebral seperti kelainan pergeseran jaringan
otak akibat edema, perdarahan trauma.
3. EEG : untuk
memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya petologis.Sinar X : mendeteksi
adanya perubahan struktur tulang ( fraktur).
4. BAER (
Brain Auditori Evoker Respon ) : menentukan fungsi korteks dan batang otak.
5. PET ( Position
Emission Yomography ) menunjukan perubahan aktivitas metabolisme pada otak.
6. Fungsi
Lumbal CSS : dapat menduga adanya perubahan sub araknoid.
7. Kimia atau
elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan
TIK atau perubahan status mental ( Doengooes,2000 ).
F.
Diagnosis
Keperawatan
Diagnosa
keperawatan adalah keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga, atau
masyarakat, sebagai akibat dari masalah kesehatan / proses kehidupan baik yang
aktual maupun potensial ( nursalam, 2001).
1. Gangguan
perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema otak.
2. Potensial
tidak efektifnya pola pernapasan berhubungan dengan adanya obstruksi trakeabronkial.
3. Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan penurunan ADH.
4. Resiko
tinggi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelemahan otot
yang diperlukan untuk mengunyah.
5. Gangguan
rasa nyaman nyeri kepala berhubungan dengan kerusakan jaringan otak dan
perdarahan otak atau peningkatan tekanan intrakranial dan cedera psikis.
6. Gangguan
mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot atau kerusakan
neuromuskular.
7. Potensial
terjadinya infeksi berhubungan dengan masuknya kuman melalui jaringan.
8. Gangguan
integriatas kulit berhubungan dengan terjadinya kerusakan jaringan kulit.
9. Resiko
tinggi cedera aspirasi berhubungan dengan kesulitan menelan (Juall, 2006).
II.
Tinjauan Teori Kebutuhan Rasa Nyeri
A. Pengertian Nyeri
Mc .Coffery
(1979) mendefenisikan nyeri sebagai
suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang yang keberaadannya diketahui hanya jika orang tersebut pernah
mengalaminya.
Wolf Weifsel
Feurst mengatakan nyeri merupakan suatu perasaan menderita secara fisik dan
mental atau perasaan yang bisa menimbukan ketegangan.
Artur C.
Curton (1983), mengatakan bahwa
nyeri merupakan suatu mekanisme bagi
tubuh. Timbul ketika jaringan sedang dirusak, dan menyebabkan individa tersebut
bereaksi untuk menghilangkan rangsangan
nyeri.
Sehingga, nyeri
merupakan kondisi berupa perasaan yang
tidak menyenangkan , bersifat sangat subyektif karena perasaan nyeri berbeda
pada setiap orang dalam hal skala atau
tindakannya, dan hanya pada orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau
mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya.
B. Fisiologi Nyeri
Munculnya
nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan reseptor. Nyeri yang
dimaksud adalah nocieptor , merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas yang
memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki nyelin yang terbesar pada kulit dan
mukosa, khusunya pada persendian dinding arteri, ahti dan kandung empedu (Aziz,
2008)
C. Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi
nyeri dibagi menjadi 2 yakni nyeri akut dan nyeri kronis (Aziz, 2008), yaitu
sebagai berikut :
1.
Nyeri akut adalah nyeri yang timbul
secara mendadak dan cepat menghilang yang tidak memiliki atau melebihi 6 bulan
dan ditandai adanya peningkatan tegangan otot.
2.
Nyeri kronis adalah nyeri yang
timbul secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam waktu yang lama. Yang
lebih dari 6 bulan, yang termasuk nyeri psikomatis. Dan ditinjau dari sifat
terjadinya, nyeri dapat dibagi ke dalam beberapa kategori, diantaranya nyeri tersusun
dan nyeri terbakar.
Sedangkan menurut Tarwoto, 2004 klasifikasi nyeri
dibagi atas
1.
Nyeri berdasarkan kualitasnya
a. nyeri yang menyayat
b. nyeri yang menusuk
2.
Nyeri berdasarkan tempatnya
a. nyeri superfisial/nyeri permukaan tubuh
b. nyeri dalam/nyeri tusuk bagian dalam
c. nyeri ulseral/nyeri dari tusuk jaringan ulseral
d. nyeri neurologis/nyeri dari kerusakan saraf perifer
e. nyeri menjalar/nyeri akibat kerusakan jaringan ditempat lain
f. nyeri sindrom/nyeri akibat kehilangan sesuatu bagian tubuh karena
pengalaman masa lalu
g. nyeri patogenik/nyeri tanpa adanya stimulus
3.
Nyeri berdasarkan serangannya
a. nyeri akut: nyeri yang timbul tiba-tiba, waktu kurang dari 6 bulan
b. nyeri kronis: nyeri yang timbul terus-menerus, waktu lebih atau sama 6
bulan
4.
nyeri menurut
sifatnya
a. nyeri timbul sewaktu-waktu
b. nyeri yang menetap
c. nyeri yang kumat-kumatan
5.
nyeri menurut
rasa
a. nyeri yang cepat: nyeri yang menusuk
b. nyeri difus: nyeri normal yang bisa dirasakan
6.
nyeri menurut
kegawatan
a. nyeri ringan
b. nyeri sedang
c. nyeri berat
Perbedaan nyeri akut dan kronis
No
|
Karakteristik
|
Nyeri Akut
|
Nyeri
Kronis
|
1.
|
Pengalaman
|
Suatu kejadian
|
Situasi, status eksistensi
|
2.
|
|
Sebab eksternal atau penyakit dalam
|
Tidak di ketahui atau pengobatan terlalu lama
|
3.
|
Serangan
|
Mendadak
|
Bisa mendadak, berkembang, dan terselubung
|
4.
|
Waktu
|
Sampai 6 bulan
|
Lebih dari 6 bulan samai bertahun-tahun
|
5.
|
Pertanyaan nyeri
|
Daerah nyeri tidak di ketahui secara pasti
|
Daerah nyeri sulit dibedakan intensitasnya sehingga
sulit di evaluasi (perubahan perasaan)
|
6.
|
Gejala klinis
|
Pola respon yang khas dengan gejala yang lebih
terbatas
|
Pola respon yang bervariasi dengan sedikit gejala
(adaptasi) berlangsung terus menerus
|
7.
|
Perjalanan
|
Biasanya berkurang beberapa saat
|
Penderita meningkat setelah beberapa saat
|
1.
Nyeri menghantar adalah nyeri yang terasa
pada bagian tubuh yang lain. Umumnya terjadi akibat kerusakan pada bagian
cidera organ.
2.
Nyeri psikogenerit adalah nyeri yang
tidak dapat diketahui secara fisik yang timbul akibat psikologis.
3.
Nyeri phantom adalah nyeri yang
disebabkan karena salah satu ekstrimitas diamputasi.
4.
Nyeri neurologi adalah nyeri yang
tajam karena adanya spasme di sepanjang atau di beberapa jalur syaraf (Aziz,
2008)
D. Stimulus Nyeri
Seseorang
dapat menoloransi, menahan nyeri (poin tolerance) atau dapat mengenai jumlah
stimulus nyeri sebelum merasa nyeri (point treshold).Beberapa jenis stimulasi
nyeri menurut Hidayat Aziz tahun 2007 di antaranya :
1. Trauma pada
jaringan tubuh, misalnya karena bedah akibat terjadinya kerusakan pada jaringan
dan iritasi secara langsung pada reseptor.
2. Gangguan
pada jaringan tubuh, misalnya, karena adanya oedem akibat terjadinya penekanan
pada reseptor nyeri.
3. Tumor dapat
juga menekan reseptor nyeri.
E. Faktor-faktor Penyebab Nyeri
Faktor penyebab nyeri menurut
Tarwoto, 2004adalah sebagai berikut :
1.
Stimulasi
Mekanik
Disebut trauma
mekanik adanya suatu penegangan akan penekana jarinagan
2.
Stimulus
Kimiawi
Disebabkan oleh
bahan kimia
3.
Stimulus Thermal
Adanya kontak
atau terjadinya suhu yang ekstrim panas yang dipersepsikan sebagai nyeri
44°C-46°C
4.
Stimulus Neurologik
Disebabkan
karena kerusakan jaringan saraf
5.
Stimulus
Psikologik
Nyeri tanpa
diketahui kelainan fisik yang bersifat psikologis
6.
Stimulus
Elektrik
Disebabkan oleh
aliran listrik
F.
Sunber Nyeri
Menurut Smellchzer,
S.C. Bare. B.G, 2006 sumber nyeri terjadi,
1. Cutaneous /
superfisial yang meliputi struktur pada kulit dan jaringan subcutan.
2. Viseral yang
meliputi organ-organ yang berada dalam rangga tubuh.
3. Deep
srematik yang meliputi tulang otot syaraf dan jaringan-jaringan yang menyokong.
G. Tingkatan Nyeri
Skala intensitas nyeri
dan tipe nyeri
Skala Keterangan
10 : Sangat dan tidak dapat dikontrol oleh klien
9,
8, 7 : Sangat nyeri tetapi
masih dapat dikontrol oleh klien dengan aktifitas yang bisa dilakukan
6 : Nyeri seperti terbakar atau ditusuk-tusuk
5 : Nyeri seperti tertekan atau bergerak
4 : Nyeri seperti kram atau kaku
3 : Nyeri seperti perih atau mules
2 : Nyeri seperti meliiti atau terpukul
1 : Nyeri seperti gatal, tersetrum atau
nyut-nyutan
0 : Tidak ada nyeri
Tipe Nyeri
Skala Keterangan
10 : Tipe nyeri sangat berat
7-9 : Tipe nyeri berat
4-6 : Tipe nyeri sedang
1-3 : Tipe nyeri ringan
(Sudiharto,
1996)
H. Upaya Mengatasi Nyeri
1.
Distraksi, yaitu mengalihkan
perhatian
Misalnya : nonton TV, baca majalah,
mengajak bicara pasien.
2.
Relaksasi seperti : nafas dalam, kompres, message
3.
Akupuntur, yaitu tusuk jarum pada
daerah nyeri
4.
Hipnosa, yaitu teknik membuat orang
tidak sadar diri
5.
Analgesik, yaitu mengurangi persepsi tentang nyeri
6.
Daya kerja sistem syaraf sentral
I.
Tindakan
Keperawatan Mengatasi Nyeri
Relaksasi Tarikan Nafas Dalam
Pengertian
Teknik
relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal
ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan napas dalam,
napas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan
napas secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik
relaksasi napas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan
oksigenasi darah (Smeltzer & Bare, 2002).
Tujuan
Untuk
meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi
paru, meningkatkan efesiensi batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun
emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan (Smeltzer
& Bare, 2002).
Langkah
Kerja
Bentuk
pernapasan yang digunakan pada prosedur ini adalah pernapasan diafragma yang
mengacu pada pendataran kubah diagfragma selama inspirasi yang mengakibatkan
pembesaran abdomen bagian atas sejalan dengan desakan udara masuk selama
inspirasi. Adapun langkah-langkah teknik relaksasi napas dalam adalah sebagai
berikut:
1.
Ciptakan lingkungan
yang tenang
2.
Usahakan tetap rileks
dan tenang
3.
Menarik nafas dalam
dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara melalui hitungan 1,2,3
4.
Perlahan-lahan udara
dihembuskan melalui mulut sambil merasakan ekstrimitas atas dan bawah rileks
5.
Anjurkan bernafas
dengan irama normal 3 kali
6.
Menarik nafas lagi
melalui hidung dan menghembuskan melalui mulut secara perlahan-lahan
7.
Membiarkan telapak
tangan dan kaki rileks.. Usahakan agar tetap konsentrasi / mata sambil terpejam
8.
Pada saat konsentrasi
pusatkan pada daerah yang nyeri
9.
Anjurkan untuk
mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang
10. Ulangi
sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali.
11. Bila
nyeri menjadi hebat, seseorang dapat bernafas secara dangkal dan cepat (Priharjo,
2003).
DAFTAR
PUSTAKA
Aziz, Alimul Hidayat. 2008. Kebutuhan
Dasar Manusia. Jakarta
Brunner dan Suddarth. 2001. Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 3. Jakarta : EGC
Carpenito, Lynda
Juall. 2006. Buku saku Diagnosa
Keperawatan. Edisi
10. Jakarta : EGC.
Doenges M.E. 2000. Rencana
Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Fadilah,
Haris. 2012. “Tinjuan Teoritis Dyspepsia”. Dalam http://hariskumpulanaskep.blogspot.com/2012/01/askep-dispepsia.html. Diakses 17
Juli 2013.
Masjoer, Arief. 2000.
Kapita Selekta kedokteran,
Edisi 3 Jild 2. Jakarta : Media Aesculaplus.
Muttaqin,
Arif. 2008. Buku Ajar asuhan Keperawatan
Klien Dengan Gangguan sistem persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Nursalam. 2001. Pengantar
Dokumentasi Keperawatan. Jakarta : EGC
Sudiharto. 1996. Fundamental
Of Nursing: Asuhan Keperawatan pada Pasien Nyeri. Jakarta :
Suzani, Cherry. (2007). Buku Saku
Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia. Depok : SMK Raflesia
Tarwoto. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta : CV. Sagung Seto.
Comments
Post a Comment